Selasa, 27 Januari 2009

Prof. Dr. Mubyarto ( Alm ) Seorang Pakar Ekonomi Kerakyatan


لسلام عليكم و رحمة الله و بركاته
Masih ingat benar saya Pak Muby, karena sering saya membaca buah tulisannya di harian nasional tentang pemikiran-pemikirannya mengenai Ekonomi Pancasila, yang mengedepankan Pertumbuhan dan Pemerataan Pembangunan yang berkeadilan.
Tulisan dan uraiannya gampang dan mudah dicerna, yang susah mungkin penerapannya dilapangan karena sebagian besar kalangan teknokrat justru lebih mengedepankan Pertumbuhan yang tinggi dengan mempercayakan Investor asing masuk dan diberi kemudahan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan usahanya di Tanah Air tercinta ini, demikian juga terhadap swasta nasional.
Keterbukaan ekonomi seperti ini sesungguhnya merupakan cerminan dari ekonomi Liberal, yang menyerahkan semua sistem kepada pemodal yang memiliki banyak uang untuk mengembangkan usahanya, yang memperbolehkan mengeruk keuntungan setinggi mungkin untuk kemajuan usahanya, dan kemudian hasilnya sebagian besar terserap kembali kenegara asalnya atau ke pemerintah pusat tentunya.
Hal ini terbukti dari kemajuan pembangunan yang lebih memfokuskan hanya di Pulau Jawa, coba lihat tingkat konsumsi BBM, Listrik dan Pangan serta kebutuhan sekunder lainnya 70% untuk pulau Jawa, sedangkan sumber-sumber yang ada sebagian besar berada di luar Jawa, Ironis khan….???
Sistem Ekonomi Pancasila merupakan aturan main kehidupan ekonomi, yang lebih mengedepankan Pertumbuhan dan Pemerataan yang berkeadilan, jadi segala sumber yang ada disuatu daerah dimanfaatkan sepenuhnya bagi kemajuan daerah itu.  Jadi kalau ada Investor yang masuk, investor tersebut harus mendayakan sumber daya lokal yang ada dan selanjutnya mengembangkan kemajuan buat rakyat sekitarnya, jangan sampai rakyat lokal hanya sebagi penonton tapi dilibatkan dan diberdayakan.
Sistem Ekonomi Pancasila memang dinyatakan gagal dalam penerapannya di era Pemerintahan Orde Baru, tapi sejak reformasi 1998 digulirkan istilah tersebut menjadi Populer dengan Istilah Ekonomi Kerakyatan yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat, dan jika diterapkan secara tepat pada setiap kebijakan dan program akan dapat membantu terwujudnya keselarasan dan keharmonisan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.
Pak Muby, memang engkau telah berpulang ke pangkuan Illahi, tapi Pemikiran mu akan selalu terbawa dalam setiap langkah dan gerak muridmu dan penerusmu….seperti halnya tulisannmu yang selalu membawa inspirasi bagiku di tahun 1980 an ketika aku masih remaja dan menyenangi sajian tulisanmu sebagai pembuka wawasan meskipun aku tak berkecimpung dilingkungan itu…..Muridmu dan Penerusmu seperti Pak A.Tony Prasetiantono, Anggito Abimanyu, Revrisond Baswir dan yang lainnya, mudah-mudahan mereka akan selalu menyuarakan itu…..kalau aku hanya sebagai penikamat dari tulisan atau pemerhati dari gerak-gerik mereka.
Terakhir Semoga Arwahmu mendapatkan tempat yang layak disisiNYA, Amin….!!!

Tangerang, 26 January 2009.

Wasalam,


Pakar Ekonomi Kerakyatan
Prof. Dr. Mubyarto ( 1938 - 2005 )

Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, ini meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa 24 Mei 2005 pukul 13.49.  Pakar ekonomi kerakyatan kelahiran Yogyakarta, 3 September 1938, itu meninggalkan seorang istri, Sri Hartati, empat anak dan enam cucu.
Prof Dr Mubyarto yang akrab dipanggil Muby itu sempat dirawat secara intensif selama empat hari karena menderita paru-paru basah dan serangan jantung ringan. Jenazah disemayamkan di rumah duka Perumahan Dosen UGM, Sawitsari C-10 Condongcatur, Depok, Sleman.
Untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari civitas academica UGM, jenazah disemayamkan lebih dulu di Balairung UGM Rabu 25 Mei 2005 pukul 11.00. Kemudian dikebumikan di Makam Keluarga UGM di Sawitsari, sekitar pukul 13.00.

Berbagai kalangan datang melayat ke rumah duka di Kompleks Sawit Sari C-10. Di antaranya mantan Dirjen Dikti dan Dubes Unesco Prof Dr Bambang Suhendro dan mantan Rektor UNS Prof Dr Kunto Wibisono. Juga mantan Ketua MPR RI Amien Rais.
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tengah berada di Yogyakarta membuka Rakerda Partai Golkar juga menyempatkan diri melayat ke rumah duka bersama Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, dan Prof Dr Muladi.
Pakar Ekonomi Kerakyatan
Guru Besar FE-UGM dan Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP-UGM), ini dikenal paling konsern pada ekonomi kerakyatan. Ekonom kelahiran Yogyakarta, 3 September 1938, ini juga konsern terhadap Sistem Ekonomi Pancasila. Hampir setiap kesempatan ia berbicara tentang sistem ekonomi Pancasila itu.
Dalam renungan akhir tahun 2003, sekaligus memperingati 1 tahun Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM, Selasa (9/12/03), ia mengatakan semangat nasionalisme bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir sudah sangat mengendur. Kendurnya nasionalisme ini karena telah dibekukan prestasi “keajaiban ekonomi” selama 32 tahun pembangunan ekonomi Orde Baru yang selalu ditonjolkan.
Ia bilang, ekonomi Indonesia telah mencapai pertumbuhan ekonomi luar biasa, yaitu rata-rata 7 persen/tahun. Padahal, dalam realitas yang terjadi adalah penghisapan oleh pemerintah pusat dan investor asing. Akibatnya, kata pakar ekonomi kerakyatan dari UGM ini, ekonomi nasional menjadi sangat timpang meski rata-rata pendapatan nasional sudah melebihi US$ 1000.
Ekonom Indonesia, kata lulusan S3 Iowa State, 1965, ini telah keblinger, tidak merasa terpedaya oleh keajaiban ekonomi yang menipu. Nyatanya, mereka sekarang tetap saja berbicara perlunya pertumbuhan ekonomi yang tinggi (6-7 persen/tahun) sebagai satu-satunya jalan menuju “pemulihan ekonomi”.

Ia juga menjelaskan, di masa Orba banyak daerah –terutama yang kaya sumber daya alam – merasa dihisap oleh pemerintah pusat atau investor dari luar. Contoynya, pada 1996, Provinsi Kaltim, Riau dan Irian Jaya (Papua) derajat penghisapannya tinggi, masing-masing 87 persen, 80 persen dan 78 persen. Artinya, dari setiap 100 nilai PDRB, bagian yang dinikmati penduduk setempat hanya 13 persen (Kaltim), Riau 20 persen dan Papua 22 persen. Selebihnya dinikmati investor dari luar. “Akibatnya ekonomi Indonesia kembali terjajah oleh ekonomi asing. Inipun pada 1988 sebenarnya sudah diperingatkan, namun rupanya diabaikan oleh para teknokrat kita.
Berikut ini kami petik Makalah Kuliah Umum Ekonomi Pancasila di Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang, 9 Januari 2003, berjudul: “Pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila Di Tengah Praktek Liberalisasi Ekonomi di Indonesia”

Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Intisari Pancasila (Eka Sila) menurut Bung Karno adalah gotongroyong atau kekeluargaan, sedangkan dari segi politik Trisila yang diperas dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (monotheisme), sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.
Praktek-praktek liberalisasi perdagangan dan investasi di Indonesia

Trilogi Pembangunan
Sebenarnya sejak terjadinya peristiwa “Malari” (Malapetaka Januari) 15 Januari 1974, slogan Trilogi Pembangunan sudah berhasil dijadikan “teori” yang mengoreksi teori ekonomi pembangunan yang hanya mementingkan pertumbuhan . Trilogi pembangunan terdiri atas Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya. Namun sayangnya slogan yang baik ini justru terkalahkan karena sejak 1973/74 selama 7 tahun Indonesia di”manja” bonansa minyak yang membuat bangsa Indonesia “lupa daratan”. Rezeki nomplok minyak bumi yang membuat Indonesia kaya mendadak telah menarik minat para investor asing untuk ikut “menjarah” kekayaan alam Indonesia. Serbuan para investor asing ini ketika melambat karena jatuhnya harga minyak dunia , selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada tahun-tahun 1983-88. Kebijakan penarikan investor yang menjadi sangat liberal ini tidak disadari bahkan oleh para teknokrat sendiri sehingga seorang tokoknya mengaku kecolongan dengan menyatakan:

Dalam keadaan yang tidak menentu ini pemerintah mengambil tindakan yang berani menghapus semua pembatasan untuk arus modal yang masuk dan keluar. Undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal, dengan demikian menjadi yang paling liberal di dunia, bahkan melebihi yang berlaku di negara-negara yang paling liberal. (Radius Prawiro. 1998:409)
Himbauan Ekonomi Pancasila
Pada tahun 1980 Seminar Ekonomi Pancasila dalam rangka seperempat abad FE-UGM “menghimbau” pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dalam memilih dan melaksanakan strategi pembangunan ekonomi. AdaIndonesia maka ekonom-ekonom UGM melontarkan konsep Ekonomi Pancasila yang seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap kebijakan pembangunan ekonomi. Jika Emil Salim pada tahun 1966 menyatakan bahwa dari Pancasila yang relevan dan perlu diacu adalah (hanya) sila terakhir, keadilan sosial, maka ekonom-ekonom UGM menyempurnakannya dengan mengacu pada kelima-limanya sebagai berikut:
sejak medio delapanpuluhan bersamaan dengan serangan globalisasi dari negara-negara industri terhadap negara-negara berkembang, sebenarnya dapat ditangkal dengan penerapan sistem ekonomi Pancasila. Namun sejauh ini gagal karena politik ekonomi diarahkan pada akselerasi pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi tinggi ketimbang pemerataan hasil-hasilnya. peringatan “teoritis” bahwa ilmu ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, tetapi tidak cocok atau tidak memadai untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial. Karena amanah Pancasila adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
·        Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
·        Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;
·        Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi mekin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;
·        Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;
·        Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagaimana terjadi pemerintah Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi pembangunan berpola “konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi tinggi dan hampir-hampir mengabaikan pemerataan. Ini merupakan strategi yang berakibat pada “bom waktu” yang meledak pada tahun 1997 saat awal reformasi politik, ekonomi, sosial, dan moral.


Globalisasi atau Gombalisasi
Dalam 3 buku yang menarik The Globalization of Poverty (Chossudovsky, 1997), Globalization Unmasked (Petras & Veltmeyer, 2001), dan Globalization and Its Discontents (Stiglitz, 2002) dibahas secara amat kritis fenomena globalisasi yang jelas-jelas lebih merugikan negara-negara berkembang yang justru menjadi semakin miskin (gombalisasi). Mengapa demikian? Sebabnya adalah bahwa globalisasi tidak lain merupakan pemecahan kejenuhan pasar negara-negara maju dan mencari tempat-tempat penjualan atau “pembuangan” barang-barang yang sudah mengalami kesulitan di pasar dalam negeri negara-negara industri maju.

Globalization is … the outcome of consciously pursued strategy, the political project of a transnational capitalist class, and formed on the basis of an institutional structure set up to serve and advance the interest of this class (Petras & Veltmeyer. 2001: 11)

Indonesia yang menjadi tuan rumah KTT APEC di Bogor 1994, mengejutkan dunia dengan keberaniannya menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010 dengan menyatakan “siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi karena sudah berada di dalamnya”. Keberanian menerima jadwal AFTA dan APEC ini, kini setelah terjadi krismon 1997, menjadi bahan perbincangan luas karena dianggap tidak didasarkan pada gambaran yang realistis atas “kesiapan” perekonomian Indonesia. Maka cukup mengherankan bila banyak pakar Indonesia menekankan pada keharusan Indonesia melaksanakan AFTA tahun 2003, karena kita sudah committed. Pemerintah Orde Baru harus dianggap telah terlalu gegabah menerima kesepakatan AFTA karena mengandalkan pada perusahaan-perusahaan konglomerat yang setelah terserang krismon 1997 terbukti keropos.


Peran Negara dalam Program Ekonomi dan Sosial
Meskipun ada kekecewaan besar terhadap amandemen UUD 1945 dalam ST MPR 2002 yang semula akan menghapuskan asas kekeluargaan pada pasal 33, yang batal, namun putusan untuk menghapus seluruh penjelasan UUD sungguh merupakan kekeliruan sangat serius. Syukur, kekecewaan ini terobati dengan tambahan 2 ayat baru pada pasal 34 tentang pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan pemberdayaan masyarakat lemah dan tidak mampu (ayat 2), dan tanggungjawab negara dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (ayat 3). Di samping itu pasal 31, yang semula hanya terdiri atas 2 ayat, tentang pengajaran sangat diperkaya dan diperkuat dengan penggantian istilah pengajaran dengan pendidikan. Selama itu pemerintah juga diamanatkan untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk semua itu negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari nilai APBN dan APBD.

Demikian jika ketentuan-ketentuan baru dalam penyelenggaraan program-program sosial ini dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, sebenarnya otomatis telah terjadi koreksi total atas sistem perekonomian nasional dan sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial kita yang tidak lagi liberal dan diserahkan sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan pasar bebas. Penyelenggaraan program-program sosial yang agresif dan serius yang semuanya dibiayai negara dari pajak-pajak dalam APBN dan APBD akan merupakan jaminan dan wujud nyata sistem ekonomi Pancasila.


Ekonomi Rakyat, Ekonomi Kerakyatan, dan Ekonomi Pancasila
Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, menjadi populer istilah Ekonomi Kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde Baru yang terbukti gagal.
Pada bulan Agustus 2002 bertepatan dengan peringatan 100 tahun Bung Hatta, UGM mengumumkan berdirinya Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) yang akan secara serius mengadakan kajian-kajian tentang Ekonomi Pancasila dan penerapannya di Indonesia baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Sistem Ekonomi Pancasila yang bermoral, manusiawi, nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan, jika diterapkan secara tepat pada setiap kebijakan dan program akan dapat membantu terwujudnya keselarasan dan keharmonisan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.
Penutup
Ekonomi Indonesia yang “sosialistik” sampai 1966 berubah menjadi “kapitalistik” bersamaan dengan berakhirnya Orde Lama (1959-1966). Selama Orde Baru (1966-1998) sistem ekonomi dinyatakan didasarkan pada Pancasila dan kekeluargaan yang mengacu pasal 33 UUD 1945, tetapi dalam praktek meninggalkan ajaran moral, tidak demokratis, dan tidak adil. Ketidakadilan ekonomi dan sosial sebagai akibat dari penyimpangan/penyelewengan Pancasila dan asas kekeluargaan telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang tajam yang selanjutnya menjadi salah satu sumber utama krisis moneter tahun 1997.

Aturan main sistem ekonomi Pancasila yang lebih ditekankan pada sila ke-4 Kerakyatan (yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan) menjadi slogan baru yang diperjuangkan sejak reformasi. Melalui gerakan reformasi banyak kalangan berharap hukum dan moral dapat dijadikan landasan pikir dan landasan kerja. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak pada dan melindungi kepentingan ekonomi rakyat melalui upaya-upaya dan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila, yang diharapkan mampu meredam ekses kehidupan ekonomi yang liberal.


Sumber : Ensiklopedi Tokoh Indonesia



Ingin mengetahui lebih dekat dengan Pak Muby, silahkan Klick situs dibawah ini :
  1. Muyiarto Institute
  2. Yayasan Mubyarto
  3. Jurnal Ekonomi Rakyat



4 komentar:

Agam Fatchurrochman mengatakan...

Wah, tadi malam padahal saya mau posting mengenai Pak Muby, keburu mengantuk mas.
Kebetulan saya menjadi pengurus Mubyarto Institute yang baru didirikan 2 minggu lalu di Jakarta. Saat ini sedang merancang program kerja untuk memasukkan perhatian terhadap ekonomi rakyat kepada capres

Papanya Inez GP mengatakan...

Alhamdulillah kalo gitu.....Anata ni omekase shimasu....!!!
Semoga dapat mengemban amanat itu buat kemajuan rakyat kita, amin....!!!

iip rifai mengatakan...

tahun 2000 saya pernah kerja satu proyek dengan pak Muby , saya waktu itu jadi koordinator komputernya

Papanya Inez GP mengatakan...

Wah kang Iip bersyukur sekali bisa kerja dengan orang yang saya kagumi dengan pemikirannya.....!!!

Semoga saja dengan adanya Mubyarto Institute....pikiran2 beliau dengan Ekonomi Kerakyatannya bisa diimplentasikan oleh Pemerintah yg akan datang....dan semoga juga jalur yang digariskan oleh Ketua yayasan tak dicampur adukkan dengan pikiran2annya tentang " agama yang liberal "
Saya kok jadi pesimistis ya dgn kepemimpinannya....???!!!
< Ekonomi kerakyatan vs liberalisme agama >