Jumat, 05 Juni 2009

H M. Jusuf Kalla Menuju RI 1

Siapa pun Presiden, Bisnis Saya Tetap Jalan

Muhammad Jusuf Kalla kini menjadi penantang serius incumbent SBY. Bagaimana persiapannya untuk memenangkan pertarungan Pilpres 2009? Inilah hasil wawancara JK dengan wartawan Jawa Pos Ibnu Yunianto, Raka Deni, dan Taufik Lamade di Istana Wapres, Senin (1/6) lalu:

---

Sebagai capres yang berlatar belakang pengusaha, banyak isu yang menyebutkan Anda akan sulit memisahkan antara kepentingan bisnis keluarga dan negara?

Pengusaha itu pekerjaan mulia, sama se­perti pekerjaan lain. Kalau tanpa peng­usaha, siapa yang akan bayar pajak, siapa yang mau kasih kerja orang. Pengusaha itu profesi mulia. Keluarga saya itu sudah menjadi pengusaha selama 70 tahun. Jadi, ini pekerjaan turun-temurun.

Sama saja dengan Pak SBY, dia tentara, bapaknya tentara, mertuanya tentara, sau­daranya tentara, dan anaknya tentara. Apa itu haram, apa itu KKN, kan tidak. Mereka kan bekerja secara profesional.

Nah, kalau keluarga saya berusaha secara professional, kenapa mesti diusik-usik. Karyawan perusahaan saya itu 10 ribu-20 ribu orang. Kenapa dicurigai, apa mau dibiarkan menganggur ribuan orang itu. Bisnis keluarga yang ada hubungan dengan pemerintah paling lima persen.

Contohnya, kami jualan mobil, apa hu­bungannya dengan pemerintah? Siapa pun presidennya, tetap akan jalan. Kami juga pu­nya hotel, punya mal, punya pabrik se­men, siapa pun pemerintahnya, akan tetap jalan. Yang lima persen itu tetap pakai tender resmi. Coba, sebutkan satu saja yang melanggar aturan. Kalau Anda bisa sebutkan satu saja yang melanggar, saya kasih seluruh keuntungannya. Tapi kalau salah, Anda mesti bayar sama saya.

Bagaimana dengan isu monorel yang me­mojokkan keterlibatan Pak JK yang di­kampanyekan oleh tim kampanye lain?

Monorel itu proyek siapa? Sutiyoso. Pre­sidennya Ibu Mega. Siapa menteri keua­n­g­annya waktu itu? Boediono. Kalau disetujui, pasti dia yang setujui. Cuma, itu tidak jalan. Bayangkan tidak manusiawinya. Di bawah orang macet total berjam-jam di jalan. Di atas ada proyek monorel yang macet. Itu harus dijalankan dong. Sudah ada tiang-tiangnya masak tidak dijalankan hanya gara-gara tidak ada yang menjamin (kreditnya). Betul-betul brengsek pemerintah yang tidak manusiawi seperti itu, di bawah dia biarkan rakyat macet total, di atas dia biarkan proyek macet.

Tapi, mengapa Anda dikaitkan de­ngan proyek itu?

Tugas saya sebagai Wapres mempercepat proyek itu selesai. Setelah saya pe­rik­sa, oh, ternyata proyek itu terlalu mahal, USD 800 juta, turunkan jadi USD 400 juta dengan memakai produk dalam ne­geri. Saya terlibat dalam rangka penggu­naan produk dalam negeri dan menurun­kan biayanya menjadi separonya.

Saya juga berani bertaruh di sini. Coba tun­jukkan di mana salahnya, saya akan ba­yar sama dia keuntungan yang dia kata­kan saya dapat. Tapi kalau salah, dia ha­rus bayar sebesar yang dia katakan. Siapa be­rani tunjukkan proyek monorel itu sa­lah, justru salah orang yang tidak melanjutkan proyek monorel, sementara di ba­wah macet total dan tiang-tiangnya sudah jadi. Apa tidak menangis kalau ada orang yang berpikir macam-macam, tidak mau teken jaminan agar proyek itu jalan lagi. Terakhir dia mau, tapi sudah telanjur krisis.

Tugas saya sebagai Wapres untuk mempercepat dan mengefisienkan pembangunan infrastruktur. Saya tegaskan, tidak ada hubungan proyek monorel itu dengan keluarga saya. Itu fitnah. Saya akan tuntut siapa pun yang ngomong seperti itu sekali lagi.

Anda juga dituding melakukan politisasi agama?

Kami tidak punya rencana menggunakan isu agama untuk membeda-bedakan masyarakat. Bahwa itu terikut secara otomatis, tidak bisa dihindari. Kalau saya ke pesantren, sentimen itu tidak bisa dihindari. Atau kalau istri saya dan istri Pak Wiranto berjilbab, itu juga tidak bisa dihindari ka­rena memang begitu. Bukan saya yang membawa ke isu agama, tapi masyarakat yang memandangnya. Itu sah-sah saja.

Pernahkah ada kampanye dari kami pilihlah istri capres yang berjilbab? Itu bukan kami yang mengembuskan, tapi masyarakat yang menangkapnya sendiri dari fakta yang ada. Jilbab bukan politisasi agama karena istri saya sudah berjilbab sejak 20 tahun lalu. Kalau sekarang ada istri capres yang dulu tidak berjilbab, tapi tiba-tiba difoto pakai jilbab dan disebarkan kiri-kanan, justru itu yang politisasi agama.

Slogan Anda lebih cepat lebih baik. Lan­tas, apa pemerin­tahan saat ini kurang cepat?

Pemerintahan saat ini sudah baik, cuma harus lebih cepat lagi dalam melaksanakan program dan menghadapi masalah-masalah. Bagaimana memanfaatkan semua sumber daya untuk menyelesaikan masalah dengan kecepatan yang baik, jangan ditunda-tunda masalahnya.

Semua masalah yang timbul pada saat krisis ini, sekiranya diselesaikan sebelumnya, tidak akan ada. Katakanlah, pembangunan pariwisata di Lombok -kalau di­selesaikan sebelumnya- tidak akan menjadi masalah sekarang.

Kenapa lambat?

Kita sering terlambat mengambil keputusan dan birokrasi kita memang menuntut dibuat target-target secara jelas.

Oh ya, Anda menargetkan pertumbuhan 8 persen pada 2011. Ada capres lain yang menargetkan 10 persen. Bagaimana realistisnya?

Kalau saya meyakini itu target (8 persen) yang sangat realistis. Mengapa? Tahun 2008 sudah 6,4 persen, jadi tinggal kita naik­kan 1,5 persen sudah delapan. Itu ti­dak sulit karena pada 2010 program yang saya koordinasikan seperti pengurangan subsidi listrik dan konversi elpiji itu menghemat Rp 150 triliun-200 triliun. Infrastruktur lain se­perti jalan tol, kereta api, dan sebagainya juga sudah jalan. Kalau pendapatan besar dan pengeluaran mengecil, pemerintah akan mampu mendorong pertumbuhan.

Kita juga akan benahi masalah birokrasi investasi doing business dalam dua tahun. Krisis dunia juga akan selesai, apalagi dampak krisis dunia tidak akan sebesar dampak yang menimpa negara lain. Jadi, delapan persen itu target minimal.

Apa cukup spending saja?

Di samping spending, tentu ada inves­tasi swas­ta. Sumber dana kita dari dalam ne­geri sebenarnya besar, tidak usah khawa­tir kekurangan. Dari SBI saja ada Rp 290 triliun lebih. Kalau diambil Rp 100 triliun saja, sudah bisa untuk membangun infrastruktur. Diambil maksudnya bank BUMN meminjamkan kepada perusahaan swasta.

Setelah jadi presiden nanti, apa program ekonomi konkret?

Program saya adalah peningkatan eko­nomi bangsa yang mandiri untuk kepentingan seluruh rakyat. Jadi, semua harus ber­kem­bang, tumbuh; pertanian harus kita tum­buhkan dengan baik supaya ada keman­dirian. Begitu pula industri. Karena itu, saya mendorong pertumbuhan industri dalam negeri dan penggunaan sumber dana dalam negeri. Jangan uang itu disimpan di bank sebagai SBI seperti sekarang. Itu bahaya sekali. Jangan pinjam uang mahal dari luar, dengan penerbitan SUN-SUN itu. Mahal sekali. Jadi, terbalik kebijakan selama ini.

Bila pertumbuhan digenjot, sering pe­me­rataannya tidak terjadi?

Itu bisa diatur bersamaan. Sambil bertumbuh, diatur pemerataannya. Ekonomi ke­rakyatan bisa menimbulkan pertumbuhan. Per­tanian dan UMKM itu kan ekonomi yang subjeknya rakyat semua. Jangan dipertentangkan antara pertumbuhan dan pe­merataan, kecuali yang berpikir itu sangat li­beral, yang dipikirkan pasar modal saja. Sektor finansial akan tumbuh, tapi ekonomi kerakyatan tidak. Pikiran-pikiran neoliberal hanya memikirkan sektor moneter dan keu­angan, bukan riil ekonomi. Selama kita fo­kuskan ekonomi riil, pasti akan merata, sambil pemerintah memberikan subsidi dalam bentuk air bersih, dana kesehatan, uang sekolah, pasti akan terjadi pemerataan.

Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi pemerintah saat ini identik dengan SBY. Bagaimana sikap Anda?

Kita akan lebih keras dalam menegakkan hukum dan memerangi korupsi. Pidato per­tama saya ketika baru terpilih menjadi Wapres dan kemudian terpilih menjadi ketua umum Golkar keras sekali tentang antikorupsi. Saya tidak akan menjadikan Golkar sebagai bungker bagi koruptor.

Sebenarnya yang lebih banyak berperan (dalam penegakan antikorupsi) selama ini KPK yang merupakan lembaga hukum independen, bukan di bawah presiden. Sekalipun sekarang KPK sedang terkena masa­lah, tentu kita akan support agar bisa efektif kembali. Ke depan, saya akan lebih tegas lagi dalam penegakan hukum dan antikorupsi. Saya tidak punya beban apa pun.

Bila Anda memenangkan pilpres, ba­gaimana skema penyelesaian sosial dan ekonomi kasus Lapindo?

Pertama, akan saya selesaikan secara tek­nis dulu. Artinya, dengan segala macam tek­nologi, semburannya harus bisa ditutup. Secara bersamaan, itu akan menyelesaikan masalah ekonomi. Karena apa pun yang ki­ta perbuat, tanpa menutup semburan, tidak akan menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi. Jadi, tutup dulu, baru minta Lapindo menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan keputusan presiden.

Soal infrastruktur, saya kemarin sudah ketemu gubernur Jatim, segera dilakukan ground breaking jalan tol minggu depan.

Apa masih bisa ditutup?

Bisa, sudah banyak ahli pertambangan ke­temu dengan saya. Saya yakin bisa. Se­­mua penyakit itu kan ada obatnya. Tapi, segala upaya harus dilakukan.

Lapindo juga yang harus membiayai proses penutupan?

Ya ...memang begitu.

(noe/tof)

---

Nama: Drs H Muhammad Jusuf Kalla

Tanggal lahir: Watampone, 15 Mei 1942

Istri: Hj Mufidah Miad Saad

Anak: Muchlisa Jusuf, Muswirah Jusuf, Imelda Jusuf, Solichin Jusuf, dan Chaerani Jusuf

Cucu: Ahmad Fikri, Mashitah, Jumilah Saffanah, Emir Thaqib, Rania Hamidah, Aisha Kamila, Siti Safa, Rasheed, Maliq Jibran

Pendidikan Terakhir:

Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (1967)

The European Institute of Business Administration, Fontainebleau, Prancis (1977)

Pengalaman Organisasi:

Ketua HMI Cabang Makassar 1965-1966

Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanuddin 1965-1966

Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) 1967-1969

Ketua Pemuda Sekber Golkar Sulawesi Selatan dan Tenggara (1965-1968)

Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Sulawesi Selatan (1985-1997)

Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Indonesia (1997-2002)

Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Sulawesi Selatan (1985-1995)

Wakil Ketua ISEI Pusat (1987-2000)

Penasihat ISEI Pusat (2000-sekarang)

Ketua Ikatan Alumni Unhas (sampai sekarang)

Ketua Persatuan Sepak Bola Makassar (1980-1990)

Pemilik klub sepak bola Makassar Utama (MU) pada 1985-1992

Pengalaman Pemerintahan:

1. Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (1965-1968)

2. Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (1982-1987)

3. Anggota MPR utusan daerah (1997-1999)

4. Menteri Perindustrian dan Perdagangan/Kepala Bulog (1999-2000)

5. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2001-2004)

6. Wakil Presiden (2004-2009)

Bidang Agama:

Mustasyar (Penasihat) NU Sulawesi Selatan

Ketua Yayasan Badan Wakaf Masjid Al-Markaz Al-Islami

Bendahara Masjid Raya Makassar

Ketua Forum Antaragama Sulawesi Selatan


Sumber : Jawa Pos

7 komentar:

Papanya Inez GP mengatakan...

Harapan saya cuma ada beberapa :
1. KORUPTOR DIBERANGUS LEBIH CEPAT
2. KEMANDIRIAN ( EKONOMI, ENERGI, PERTANIAN & TEKNOLOGI )
3. EKONOMI DISEKTOR RILL BERGERAK LEBIH CEPAT
4. PELAKSANAAN PROYEK INFRASTRUKTUR BERGERAK LEBIH CEPAT
5. HARGA DIRI BANGSA DAN KEPE-DE-AN KITA NAIIIIIIKKKKK
6. RESTRUKTURISASI TNI DAN PENINGKATAN ANGGARAN PERSENJATAAN

Lusy Mardiani mengatakan...

7. pendidikan gratis sampe perguruan tinggi (jangan ampe smp gratisnya...gimana mungkin bapaknya supir angkot anaknya bisa jadi pilot kalo sekolahnya sampe smp )

Ummu Aelwen ^_^ mengatakan...

nomer 7: Lapindo segera diselesaikan tuntas tas .. kasihan sudah mangkrak berapa tahun

Papanya Inez GP mengatakan...

Mungkin aja Mbak Lussy....kalo anaknya pinter dan dapet beasiswa......!!
setuju sekali pendidikan gratissssss

Papanya Inez GP mengatakan...

Tuntassss.....sumbernya ditutup dulu....!!

Sonny Sakarsono mengatakan...

tapi apa bisa berharap dengan sistem buatan manusia, harapan itu bisa terwujud jika sistem Allah yg dipakai, ayoo kita rame 2 terapkan dan tuntut sistem Ilahi yg dipakai, pasti rahmatan lil alaamin, sejahtera seluruh ummat manusia dunia dan akherat

Papanya Inez GP mengatakan...

Wah Bro Inoz punya usulan beneran nich...???