Senin, 28 Juli 2008

Kenegarawanan Pemimpin Kita


Rating:★★★★
Category:Other
Tulisan yang sangat menarik oleh " Tjipta Lesmana " Kolumnis surat kabar Nasional yang perlu kita cermati dan renungkan maknanya.

Menarik, menyimak ungkapan Wapres Jusuf Kalla, 15 Juli 2008. Dikatakan, ada enam pemimpin kita tidak saling bicara satu sama lain.

”Presiden Soekarno tidak bisa berbicara dengan Soeharto pada saat akhir pemerintahannya. Pak Harto tidak mau berbicara dengan presiden selanjutnya, BJ Habibie. Presiden Habibie tidak berbicara dengan KH Abdurrahman Wahid saat turun. Presiden Gus Dur tidak mau berbicara dengan Megawati Soekarnoputri. Megawati tidak saling omong dengan Presiden Yudhoyono setelah pemilu.”

Jusuf Kalla mengangkat isu politik sensitif tetapi krusial dalam konteks demokrasi. Seolah ia ingin mengingatkan, sikap ke-enam pemimpin yang saling berdiam diri itu tidak baik dan tidak mendidik dari segi demokrasi. Mengapa mereka tidak saling berbicara? Sebelum menjawab, pernyataan JK perlu dikoreksi.

”Penyakit” curiga

Kasus ”saling tidak mau berbicara” di antara ke-enam presiden tidaklah sama. Siapa yang tidak mau berbicara: apakah presiden yang digantikan (sebagai komunikator) atau presiden yang menggantikannya (komunikan)?

Dari enam presiden, hanya satu—Soeharto—yang tak mau berbicara saat dalam posisi sebagai komunikator. Sejak meninggalkan Istana, 21 Mei 1998, sampai meninggal, Soeharto tak mau menerima, apalagi bertemu Habibie. Lainnya, yang ngambek, adalah komunikan, presiden yang digantikan. Maka, benar kata JK, saat Habibie digantikan Gus Dur, ia emoh menyapa Gus Dur. Namun, dalam kasus Gus Dur-Megawati, keduanya tak mau saling sapa. Saat SBY menggantikan Megawati, 20 Oktober 2004, Megawati tak mau berkomunikasi dengan mantan menterinya itu meski SBY dengan berbagai cara berupaya menemui Megawati.

Jika ditanya, ”Apa sebab?” Jawabannya karena sebagian besar pemimpin kita bukan negarawan ”kelas tinggi”. Sifat dendam bertengger kuat dalam nurani. Kekurangan kenegarawanan juga tecermin dari susahnya pemimpin menerima kekalahan dalam pesta demokrasi. Faktor ketiga: ”penyakit” curiga yang tidak kunjung sembuh.

Dari lima kali transisi kekuasaan yang pernah kita alami, alih kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto paling ”bermasalah”. Sejumlah ahli sejarah bahkan menuding Soeharto melakukan kup melalui Surat Perintah 11 Maret (1966). Hingga hari ini, tudingan itu tetap kontroversial. Soeharto tidak pernah mau menemui pendahulunya karena sadar transisi kekuasaan itu ”bermasalah”. Anehnya, Soeharto tidak pernah eksplisit menuduh Soekarno bersalah dalam tragedi G30S.

Mengapa Soeharto tidak mau menerima kedatangan ”anak emasnya”, Habibie, setelah lengser 21 Mei 1998? Bukankah ia sendiri yang memilih Habibie sebagai Wakil Presiden pada Sidang Umum MPR Maret 1998? Dikabarkan, Cendana mencurigai Habibie berkonspirasi dengan pihak tertentu untuk menjatuhkan Soeharto, terutama pengunduran diri 14 menteri saat Soeharto sedang memeras otak membentuk ”Kabinet Reformasi”. Habibie menolak tudingan ini. Itu sebabnya Habibie mengaku batinnya menangis sebab hingga saat terakhir tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi antara keberangkatan Pak Harto ke Kairo hingga pengunduran Soeharto.

Dalam kampanye Pemilu 1999, Gus Dur dan kubunya banyak mengkritik kebijakan Presiden Habibie. Sebetulnya, Amien Rais dan Megawati berbuat sama, terkait lepasnya Timor Timur dan skandal Bank Bali. Namun, karena Gus Dur yang terpilih sebagai Presiden, wajar jika Habibie tidak senang dan tidak mau menyapanya.

Saling curiga

Saling curiga rupanya sifat pemimpin kita. Gus Dur percaya Megawati ada di balik proses impeachment dirinya pada medio 2001. Namun, Megawati juga punya alasan kuat untuk tidak senang kepada Gus Dur. Keduanya membisu setelah Gus Dur digantikan Megawati. Dibutuhkan dua tahun lebih hanya untuk berjabat tangan, belum sampai tahap bercakap-cakap. Itu pun diramaikan isu suap yang dilemparkan Gus Dur. Namun, saat keduanya menghadapi ”musuh bersama” SBY, permusuhan itu mencair.

Ihwal relasi Megawati-SBY? Banyak pihak percaya dendam Mega kepada SBY lebih kuat daripada dendam Soeharto kepada Habibie. Di mata Mega, SBY tak lebih ”Brutus”. ”Kita harus rebut kursi presiden itu pada 2009!” teriak Mega di depan kader PDI-P beberapa jam setelah SBY diambil sumpahnya oleh MPR, 20 Oktober 2004.

Dendam, curiga, dan tak bisa menerima kekalahan, itulah tiga ”keburukan” pemimpin kita disusul tidak bercakap-cakap. Di AS, para mantan kepala negara tetap menjalin silaturahmi, juga dengan penguasa di Gedung Putih. Bukan hanya itu. George W Bush mengirim mantan Presiden Jimmy Carter ke Timur Tengah untuk mengupayakan perdamaian, mengirim Bill Clinton ke Aceh saat tsunami. Presiden Clinton pun pernah mengirim Presiden Bush (senior) ke China untuk berunding dengan Pemimpin RRC. Suatu saat empat mantan presiden dan Presiden Bush makan siang di Camp David sambil membahas masalah bangsa.
Rupanya, bagi Indonesia, gambaran keakraban presiden dengan para mantan presiden seperti di AS masih mimpi.

Tjipta Lesmana Pengarang Buku Komunikasi Politik 6 Presiden RI

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/26/01250058/kenegarawanan.pemimpin.kita

2 komentar:

Bunga koe mengatakan...

Makasih sharingnya ya....

Papanya Inez GP mengatakan...

Mudah2an pemimpin2 kedepan kita adalah negarawan sejati....amin