Jumat, 27 November 2009

"Pak JK Cepat Pulaaangg, Negara Sedang Kacau..."

Kamis, 26 November 2009 | 16:49 WIB
Oleh: M Jusuf Kalla*
KOMPAS.com - Kalimat seperti itu sering saya baca saat membaca komentar di situs Detik.com, Kompasiana, dan beberapa situs online lainnya, ketika sedang liburan di Eropa. Terus terang sedih membaca yang seperti itu. Dan sedih karena saya juga dalam kondisi yang tidak bisa berbuat banyak untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini.
Kalau saya masih duduk di pemerintahan bisa saja hal tersebut bisa ditangani dalam waktu cepat. Mulai dari kasus penegakan hukum dan sampai yang betul-betul banyak dikeluhkan masyarakat adalah krisis listrik.

Persoalan listrik ini memang sangat vital. Karena dia tidak memiliki subtitusi. Begitu listrik padam, maka semuanya macet. Beda halnya dengan infrastruktur jalan, kalau Anda mau ke Bandung dan tol Cipularang rusak, maka anda masih bisa mencari jalur alternatif lainnya misalnya lewat Puncak, meski agak sedikit memutar.
Tapi kalau sudah listrik yang padam, Anda mau bikin apa? Tidak bisa nyalakan televisi, tidak bisa jalankan mesin, malam tidak bisa tidur karena kepanasan, tidak bisa nyalakan kipas angin atau AC.

Bagi Anda yang tinggal di Pulau Jawa mungkin kurang merasakannya, tapi yang di luar Jawa listrik padam itu seperti rutinitas minum obat, 3 kali sehari. Cuman katanya mulai agak jarang ketika saya berada di Makassar, kata beberapa teman-teman wartawan, "Nanti tunggu kalau Bapak balik ke Jakarta, listrik akan kembali sering padam seperti semula."

Persoalan krisis listrik ini, kita pernah alami 3 tahun yang lalu di Pulau Jawa, waktu itu beberapa pembangkit yang sedang kita bangun memang belum jadi. Tapi toh itu semua bisa kita atasi dengan melakukan re-schedule jam kerja industri. Jadi indsutri kita suruh bekerja bergiliran, jadi kalau rata-rata orang libur pada hari minggu, maka itu semua saya balik.
Ada yang libur pada hari Senin, hari Selasa, Rabu, Kamis dan seterusnya. Waktu itu memang banyak yang protes dengan alasan yang macam-macam. Tapi saya tetap tegas dan tidak peduli, cuman ada dua pilihan, ”Mau kerja bergiliran atau tidak bisa kerja karena listrik Padam?”
Tapi entah kenapa hal seperti ini tidak ada lagi yang berani lakukan. Padahal yang namanya Pemerintah dia memang harus memerintah, bukan mengimbau. Kalau hanya sekadar mengimbau maka ganti saja namanya, bukan lagi "PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA" tapi menjadi "PENGIMBAU REPUBLIK INDONESIA".

Nah, kembali ke persoalan listrik, persoalan listik ini memang sudah diramalkan sejak tahun 2005. Bagaimana tidak, ekonomi sedang tumbuh maka otomatis permintaan akan energi listrik semakin meningkat, yang dulunya orang belum kenal mesin cuci, maka sekarang mulai mengenal mesin cuci, orang yang dulunya cukup hanya dengan kipas Angin maka sekarang mulai memakai AC.
Penduduk semakin banyak, anak-anak sudah mulai besar maka otomatis membutuhkan tambahan kamar lagi yang tentunya semuanya memakai energi listik. Belum lagi industri kita yang semakin giat, itu semua membutuhkan permintaan energi yang cukup besar.

Sementara di lain sisi, kita lupa membangun pembangkit listrik, kita lalai karena pemikiran bahwa kita masih krisis selalu tertanam di benak kita. Padahal permintaan akan energi semakin hari semakin meningkat. Memang dulu pada masa krisis kita tidak banyak memakai energi karena memang ekonomi lagi mandek, tapi begitu krisis selesai ekonomi mulai tumbuh maka permintaan energi semakin meningkat.

Memang sebelumnya kita pernah membangun pembangkit listrik sebelum krisis 1998, tapi semuanya dibatalkan atas arahan IMF, dan kita kena pinalty karena itu semua. Padahal seharusnya pembangunan Infrastruktur meskipun saat krisis tetap dilanjutkan, karena bagaimanapun paska krisis ekonomi tumbuh kembali maka otomatis permintaan energi semakin meningkat.

Pada tahun 2000-2005 kita hanya membangun pembangkit dengan daya kurang lebih 1500 MW. Sementara pertumbuhan ekonomi kita saat itu sedang melesat maju. Nah inilah yang saya amati waktu itu, saya ramalkan, kalau pembangkit listrik tidak ditambah maka pada tahun 2009 kita akan gelap gulita. Waktu itu saya melapor ke Presiden, dan Pak SBY setuju lalu meminta kepada saya untuk memimpin proyek pembangunan Infrastruktur listrik.

Nah masalah kemudian muncul, karena saat itu Pemerintah lagi tidak punya, dan PLN sedang rugi. Akhirnya satu-satunya yang harus dilakukan adalah melakukan crash program, di mana PLN melakukan pinjaman dengan jaminan sepenuhnya oleh Pemerintah.
Nah inilah yang tidak dipahami oleh beberapa Menteri, terutama menteri perekonomian. Dengan alasan bahwa crash program itu tidak ada dasar hukumnya. Inilah sulitnya untuk mengurus sesuatu di Indonesia kita harus terjebak dalam Hutan Rimba aturan. Dan parahnya mereka para birokrat mereka lebih memilih taat pada aturan dibanding harus merubah aturan tersebut untuk kesejahteraan bangsa.
Bagaimanapun KEPRES, KEPMEN, PP, dan sejumlah aturan lainnya bisa dirubah kalau merasa mengganggu jalannya pembangunan. Toh dia cuman buatan manusia. Yang tidak bisa diubah adalah hukum Tuhan yang tertuang dalam kitab suci.

Akhirnya setelah saya marah dan menekan barulah penjaminan itu keluar meski sudah terlambat. Seharusnya itu dimulai pada tahun 2006 agar tahun 2009 kita aman, namun baru keluar pada tahun 2007. Dan yang terjadi seperti sekarang ini, listrik padam di mana mana. Dan semoga pembangunan Infrastruktur listrik 10000 MW yang telah dicanangkan oleh pemerintah sebelumnya, tetap dilanjutkan oleh pemerintahan sekarang ini agar tahun depan keadaan tidak bertambah parah.

Memang persoalan energi sungguh ironi di bangsa kita yang kaya akan energi ini. Kita punya gas alam yang melimpah, energi matahari yang tiada henti-hentinya. Namun mengapa kita masih mengalami krisis energi? Ini karena kita lebih memilih mengekspor daripada energi tersebut dengan alasan menambah pendapatan negara.
Bagaimana ini bisa dibiarkan terjadi kalau kita sendiri memilih dibanding untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, malahan negara orang lain yang kita penuhi kebutuhannya. Padahal seharusnya kebutuhan dalam negri dulu kita penuhi baru kemudian kita bisa mengekspor. Yang terjadi malah sebaliknya, Jepang terang benderang karena mendapat pasokan energi dari kita, sementara kita sendiri gelap gulita karena kekurangan energi.

Untuk itulah waktu saya masih menjabat sebagai Wapres semua ekspor Gas saya larang sebelum kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Natuna saya mau serahkan ke Pertamina untuk dikelola, Tangguh saya perintahkan Re-Negoisasi, Donggi senoro saya larang untuk ekspor.
Bagaimana pun Gas sangat kita butuhkan untuk pembangkit listrik kita. Mengingat pembangkit diesel itu operasionalnya sangat mahal. Memang PLTD yang beroperasi hanya tersisa 25 persen tapi yang mesti diingat 25 persen itu memakan 75 persen anggaran untuk subsidi listrik. Maka jangan heran kalau anggaran yang kita habiskan untuk subsidi listrik antara 60-90 triliun setiap tahunnya. Sebagai ilustrasi untuk memproduksi listrik / 1 KWH untuk tenaga Diesel itu seharga 3000 Rupiah, sementara dijual rata-rata hanya 700 rupiah setiap KWH.

Untuk itulah penyelesaian proyek listrik 10000 MW ini sangat penting, karena selain memenuhi kebutuhan listrik masyarakat, kita juga bisa mengganti PLTD yang masih beroperasi dan dijadikan cadangan saja, biar seandainya ada apa-apa dengan pembangkit utama terganggu atau rusak, pasokan listrik tidak terganggu.
Selaiknya memang kita butuh cadangan paling tidak 30 persen dari total energi yang tersedia. Pada kenyataannya kita hanya memiliki 5 persen cadangan padahal singapura cadangannya sampai dengan 100 persen.
Saya selalu berharap Pemerintah yang sekarang tetap komit untuk ”Lanjutkan”……

Sumber : Kompas

Tidak ada komentar: